Akhir Cerita (part 3)
Aku lanjut disini yaaa ...
Singkat cerita, aku menjalani studiku di Semarang dan dia juga menjalankan studinya di Jakarta. Kami menjalani hubungan jarak jauh Semarang - Jakarta dan kami sesekali pulang ketika tiba waktu liburan untuk menyempatkan bertemu 1 atau 2 hari di Sukabumi. Pergi ke beberapa tempat yang mungkin belum pernah kami singgahi dan diakhiri dengan kulineran, tapi kami lebih sering berkunjung ke wisata alam dan bukan tempat - tempat maen pada umumnya. Tanpa terasa ternyata hubungan kami sudah 3 tahun lamanya dan masih berjalan dengan baik. Aku yang masih menjalankan studi di Semarang dan dia sudah bekerja di sebuah hotel di Ibu Kota. Pandemi Covid 19 pun sampai ke Indonesia dan membuatku tidak bisa bertemu dengannya untuk waktu yang cukup lama kurang lebih 6 bulan kami tidak bertemu, sampai suatu hari aku pulang ke Sukabumi dan kembali ke Semarang bersamanya.
Tiba di Semarang, kami berlibur bersama dan sesekali dia mengantarkanku ke kampus untuk memenuhi absensiku yang kala itu aku sedang mengiktui program beasiswa belajar bahasa arab. Kurang lebih satu minggu dia di Semarang, dia kembali bekerja dan akupun melanjutkan kuliah seperti biasa. Saat itu aku masih duduk di semester 4 dan hubungan kami pun masih baik, yaa walaupun tetap ada ributnya. Tiga tahun tiga bulan kami menjalani hubungan ini dan kukira akan terus berlanjut tapi ternyata semua berubah. Aku sudah duduk di semester 5 atau 6 mungkin, aku lupa tepatnya dan saat itu aku di serbu banyak sekali tugas karna memang jadwalnya padat dan kuliahnya online. Entah apa yang membuat dia berubah malam itu, kami hanya sedang berkabar via telpon. Aku yang sedang sedikit marah dan niat hati ingin hanya sekedar bercanda tapi ternyata dia sedang tidak sebercanda itu, dia malah meresponku dengan nada tinggi yang bahkan ayahku tidak pernah melakukannya lagi kepadaku. Aku terdiam dan tak banyak bicara sampai akhirnya dia berkata "Yasudah, kalau kamu sudah tidak bisa bersamaku, putus saja", aku mencoba menenangkan diri dan menjawab "kamu yakin dengan omonganmu tadi?", bukan malah menenangkan tapi dia tetap mengulang kalimat itu lagi dengan nada yang lebih tinggi, sampai akhirnya dia memutuskan telponnya.
Aku mecoba menghubunginya kembali dengan tujuan ingin menenangkannya, tapi justru sakit yang aku terima. Aku terdiam dan tak berkutik sekalipun, aku hanya sedang ingin fokus mengerjakan tugas dan mecoba untuk segera menepis apa yang baru saja terjadi kepadaku. Tak lama setelah itu, dia menghubungiku kembali dan menanyakan keputusannya tadi. Aku hanya bisa menjawab "aku tidak bisa memberikan keputusan apa-apa dan aku hanya bisa mengiyakan obrolanmu tadi, tapi jika kamu mau tau apa jawabanku, beri aku waktu satu sampai dua hari" dan aku mengakhiri telpon malam itu. Malam itu aku mecoba untuk tidak menangis karna aku masih ada tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas dan aku berhasil menahannya. Dua hari kemudian dia menghubungiku lagi, mungkin karna dia ingin tau apa jawabanku. Jawabanku masih sama, aku akan tetap mengiyakan keputusannya meski pada akhirnya aku juga akan terluka. Tanpa banyak basa basi, dia pun segera menutup telponnya. Aku tak banyak bicara, aku hanya mampu mengucapka maaf jika aku banyak salah dan tidak bisa menjadi apa yang dia inginkan juga terima kasih karna dia sudah pernah hadir dalam proses pendewasaanku. Ada banyak suka dan banyak luka tapi tak apa, karna kini aku sudah baik - baik saja tanpa dirinya.
Komentar
Posting Komentar